
MI Hidayatullah-Sososk Inspiratif. Udara dingin di pagi hari, kadang masih disertai kabut, tidak membuat sosok ini enggan untuk melangkah. Menyusuri jalan menuju sebuah tempat mengabdi dengan harapan agar dinilai sebagai ibadah oleh Ilahi Rabbi. Bu Baitul Mukaromah, S.E., S.Pd.I. Dialah sosok inspiratif yang kali ini hadir untuk kiranya dapat memberi motivasi bagi kita semua, warga MI Hidayatullah, dan siapapun yang membaca tulisan Ini.
Perempuan kelahiran Blitar, 16 Februari 1976 ini berdomisili di Desa Kunir 4/8 , Wonodadi, Kabupaten Blitar ini adalah salah satu guru MI Hidayatullah Kota Blitar. Beliau mulai mengabdi sejak Juli 2004 hingga saat ini. Sudah 16 tahun rupanya beliau mengabdi di MI Hidayatullah tercinta.
Setiap apapun yang kita lakukan hari ini adalah modal dan bermanfaat untuk masa depan kita, keluarga, lingkungan, dan siapapun yang berinteraksi dengan kita. Siapapun pasti setuju dengan ini. Apapun kesalahan yang kita lakukan hari ini bisa berakibat pada diri dan lingkungan kita di masa mendatang. Begitu juga apa yang dilakukan oleh Bu Baitul Mukaromah yang dikenal dengan panggilan spesial di lingkungan MI Hidayatullah, yaitu “Emak”. Sosoknya begitu inspiratif untuk kita, atas apa yang “Emak” lakukan untuk anaknya, keluarganya, murid-murid MI hidayatullah, dan juga guru serta karyawan di sini.
Gaya dan penampilannya yang khas serta tutur katanya yang lembut, sangat pas dengan kebiasaannya berlogat Jawa. Namun, kelembutan itu tidak lantas memunculkan beliau sebagai sosok yang lemah. Di balik kelembutannya, tersemat kedisiplinan tinggi, ketegasan, dan penuh berwibawa.
Cara Mendidik Anak
“Le, monggo siram riyen!”
“Nggih, Ummi, sekedap malih.”
Begitulah sedikit percakapan beliau dengan putra kedua yang masih kecil. Begitu saja sudah bisa membuat kita terkesima dengan kesantunan sang putra, yang tentunya tak akan terwujud tanpa pendidikan yang baik dari Sang Bunda. Kedua putra beliau, Noor Azka Kholba Kariim (14 tahun) dan Noor Alfan Mafaza (5 tahun) memang dididik beliau dengan Bahasa Jawa Krama. Ini tidak beliau mulai ketika punya putra, tapi pembiasaan Bahasa Jawa Krama ini sudah beliau mulai saat awal menikah, saat berkomunikasi dengan suaminya.
Salah satu kelebihan beliau yang perlu kita simak adalah cara beliau mendidik putra-putranya yang luar biasa. Oleh Allah beliau dianugerahi putra pertama yang sedikit berbeda dengan teman sebayanya. Awalnya beliau merenung kenapa beliau diberi putra yang berbeda. Dalam perenungannya beliau meyakini pasti ada hikmah baik di balik semua ini. Ada keyakinan kuat dari dalam diri beliau, bahwa ini pasti untuk memberinya kesempatan agar belajar lebih. Belajar untuk mendidik dengan segala tantangannya, belajar untuk mendampingi anak untuk masa depannya.

Sang putra mengalami lambat bicara. Baru pada usia 4 tahun bisa memanggil Sang Bunda dengan panggilan “Ummi”. Sejak usia 3 tahun, beliau rutin mendampingi putranya terapi bicara hingga usia 6 tahun. Banyak buku yang beliau baca untuk menambah pengetahuan dengan tujuan supaya bisa mendampingi putranya dengan benar. Upaya itu telaten beliau lakukan. Pun baru diketahui putranya disleksia pada waktu duduk di kelas V. Dimana kondisi putranya bisa membaca, tapi tidak paham. Di sinilah sosok ibu yang luar biasa mulai tampil. Keterampilan beliau semakin terasah. Berbekal ilmu baru yang beliau peroleh seiring dengan pendampingan terhadap putranya, beliau menjadi bisa untuk menerapkan terhadap murid-muridnya yang mengalami kendala atau masalah dalam belajar.
Berbagai upaya beliau lakukan guna mengurangi kelemahan putranya dan mendongkrak segala potensi positif yang ada. Hingga akhirnya lejitanpun terjadi. Sang putra menorehkan prestasi luar biasa saat lulus kelas VI. Putranya meraih nilai terbaik untuk seluruh mapel di kelasnya, memiliki disiplin yang tinggi, dan menorehkan prestasi tambahan yang belum pernah diraih oleh siswa lain, yaitu ananda berhasil menulis Al-Qur’an sebanyak 30 juz dengan Metode Follow The Line. Penulisan Al-Qur’an sebanyak 30 juz ini dilakukan oleh ananda sejak kelas III semester 2 hingga kelas V semester 2. Ini semua tidak akan terwujud tanpa pendampingan, motivasi, dan waktu dari sang bunda.
Inilah salah satu sisi positif yang bisa kita contoh dari “Emak”. Untuk perkembangan putranya beliau melakukan terapi melalui intervensi dengan kedisiplinan belajar. Hingga akhirnya ananda terbiasa dengan kesadarannya sendiri mengerjakan soal sebelum main ataupun melihat televisi.
Sang putra, yang memiliki kemampuan membaca baik namun dalam pemahaman bisa dikatakan kurang ini, diberikan terapi yang unik oleh beliau dalam hal menghafal perkalian. Yaitu dengan cara setiap hari sang putra rutin menjawab perkalian yang ditulis bundanya di buku tulis sebelum bermain, hingga mencapai 3000-an nomor, akhirnya sang putra hafal perkalian. Bentuk soal lainnya ada sekitar 500-an soal perkalian bersusun dan pembagian porogapit dengan 4 digit (ribuan), bahkan anaknya sering menagih jika Bu Bety lupa untuk menyiapkan soalnya di malam hari. Masyaallah!
Saat ini sang putra terbiasa tidur pukul 11.30 untuk menyelesaikan semua tugas dengan mandiri. Mengapa sampai jam 11.30? Karena belajar dilakukan setelah mengaji dari madin dekat rumah. Semua itu dilakukan oleh anak sendiri tanpa tanpa dibantu untuk meringkas waktu. Pun putranya tidak mau dibantu. Tidak boleh ada tulisan ibu di bukunya, bahkan jika ibunya mengoreksi dengan menulis pembenarannya akan dihapus dan ditulis sendiri oleh putranya. Menurut beliau ini salah satu cara belajar tangguh untuknya.
Hal lain yang akan membuat salut kepada beliau adalah cara mendidik putranya untuk disiplin melaksanakan salat. Siapa orang tua yang tidak ingin putra/putrinya menjadi pribadi yang cinta Qur’an dan utamanya lagi cinta Allah. Mas Azka, putra pertamanya, sudah terbiasa menyambut panggilan Allah (azan) dengan masuk ke masjid, duduk manis menjawab panggilan azan, berdoa setelah azan rampung dikumandangkan, serta salat sunnah qabliyah. Kebiasaan ini dilakukan Mas Azka secara mandiri, tidak harus didampingi sang bunda, dan tanpa harus ada teman. Memang beliau berusaha menanamkan kesadaran ini pada ananda sejak kecil dengan kedisiplinan, kasih sayang, dan kelembutan. Inilah impian hampir semua orang tua untuk memiliki anak yang saleh/salehah, taat, serta patuh pada panggilan Sang Pencipta. Sungguh, aset berharga orang tua.
“Emak” yang memiliki hobi lain selain mengajar ini juga tetap meluangkan waktu untuk penyaluran hobinya di sela-sela mendampingi putranya belajar. Menjahit, merajut, menonton video pendek seperti tontonan idola beliau, yaitu Elly Risman, Adi Hidayat, Abdul Somad, Idrus Ramli, dan Gus Baha’, kadang beliau lakukan sembari mendampingi putranya belajar. Sering juga pendampingan belajar dilakukan di dapur sambil menyiapkan persiapan pagi hari. Karena sang putra akan merasa tenang belajar saat sang bunda duduk di dekatnya. Betul-betul waktu beliau tata dengan baik walau kesibukan lain menanti.
Beliau terbiasa tidur malam paling lama 3 jam bahkan sering juga tidak tidur. Jika ditanya bagaimana dengan kesehatannya, jawabannya beliau selalu minta sehat kepada Allah dan agar dimampukan membagi waktu untuk anak-anak, keluarga, dan pekerjaannya. Malam kadang beliau baru sempat menyapu, mengepel dan menyiapkan untuk masakan dini harinya.
Saat pagi semua saudah harus berangkat sekolah dan sang suami pergi kerja pun ada Mbah Kung yang perlu disiapi makan dan keperluan sehari-harinya. Setelah urusan di rumah selesai, beliau harus melaju berangkat sekolah pada pukul 06.15, dengan jarak tempuh 23 km dan membutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan sepeda motor.
Cara Mendampingi Siswa dalam Belajar di Sekolah
Yang membuat beliau luar biasa lagi adalah meski jauh, waktu tidur yang pendek, urusan rumah tangga yang banyak, tapi beliau sangat jarang terlambat datang ke sekolah.
“Emak” yang memiliki loyalitas tinggi terhadap sekolah ini juga punya sifat supel kepada siapapun, nyaman bagi orang lain ngobrol dengan beliau, bahkan siswa pun merasa beliau sangat dekat dengan mereka. Hal ini terbukti ketika diadakan survei penganugerahan prestasi terhadap Guru MI Hidayatullah, beliau terpilih menjadi Guru Terfavorit versi anak-anak. Ini karena beliau dekat dengan anak-anak, dengan gaya dan cara pendekatan khas beliau.
Salah satu pendidikan ke siswa yang perlu kita ungkap disini adalah upaya beliau untuk menekankan pentingnya birrulwalidain, bakti kepada orangtua, jujur, sederhana dan menjadi diri sendiri akan membuka hijab (baca: penghalang) untuk menjadi baik. Semua itu yang selalu beliau pesankan ke siswa setiap pagi.
Beliau juga sangat menekankan ke anak pentingnya akhlak yang baik. Anak harus mbeneh dulu baru pinter mengikuti. Bukan dibalik. Ini dibuktikan dengan upaya gencar beliau memberantas misuh dan ngelokne di kelas yang dilakukan oleh siswa. Jika beliau menjumpai atau ada laporan siswa melakukan dua hal tersebut, maka sanksi yang beliau berikan adalah membawa kue untuk dibagi ke seluruh siswa di kelas. Ini menjadi ikon kelas beliau, sehingga jika ada anak menyadari dia misuh, tanpa diketahui oleh “Emak”, otomatis tanpa disuruh dia akan membawa kue untuk sekelas. Lama-kelamaan ini membuat anak menjadi menyadari kedua akhlak tercela tersebut tidak boleh terulang dalam dirinya.
Beliau selalu berpesan kepada muridnya, untuk tidak bosan atas nasehatnya setiap hari. Walaupun anak-anak akan bisa memahami ini nanti jika sudah besar atau bahkan sudah berpisah dengan beliau. Semua ini karena rasa cinta di hati.
Inilah kisah seorang guru yang insyaallah bermanfaat untuk masa depan anak dan murid-muridnya. Guru yang ikhlas, dekat, peduli, serta mengiringi (baca: perjuangan) dengan doa dalam sujud panjang di segala keadaannya. Beliau yakin Allahlah penolong dan pengatur semuanya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan mencontoh kebaikan beliau. Aamiin. (WSJ)





