Our Blog

Mengukir Takdir

 

MI Hidayatullah-karyasiswa- Sayup-sayup mulai terdengar tarhim bersahutan memudarkan nyanyian binatang-binatang malam. Suara kokok ayam jantan seolah menjadi alarm, memberi tanda bagi semua penghuni bumi untuk bersiap menyambut mentari. Seorang gadis kecil tampak tak beringsut dari tempat tidurnya. Selimut lusuh masih menutupi setengah badannya yang duduk menunduk. Matanya yang sembab menatap sisa gelap dari bingkai jendela tanpa kaca.

“Mengapa pagi begitu cepat datang?” bisik Aisyah kepada dirinya sendiri.

“Nduk, waktunya sholat subuh,” suara ibu yang entah kapan datang, membuyarkan lamunan Aisyah.

“Eh! Baik, Ibu,” jawab Aisyah terkejut, sambil menoleh kepada ibunya.

“Nduk, apa kamu sakit?” tanya ibu khawatir.

“Tidak, Ibu. Aisyah hanya kurang tidur saja. Tadi malam dingin dan nyamuknya banyak banget,” kata Aisyah sambil memeluk dan mencoba meyakinkan ibunya.

“Alhamdulillah. Ya sudah, segera sholat sana,” kata ibu sambil berlalu meninggalkan kamar Aisyah

Aisyah adalah gadis kecil yang saleha. Dia tidak akan membiarkan ibunya sedih apalagi karena dirinya. Seberat apapun persoalan yang dia hadapi, pantang baginya untuk menambah beban pikiran sang ibu. Seperti saat ini.

“Assalamualaikum, Aisyah!” Sapaan Bu Hani mengejutkan Aisyah yang tengah berjalan sambil melamun menuju ke kelas.

“Wa-walaikumussalam, Bu Guru!” jawab Aisyah terkejut.

“Nanti setelah salat duha, temui Bu Hani dulu sebelum masuk kelas ya,” ujar Bu Hani.

”Baik Bu,” jawab Aisyah sopan.

Bisa belajar di sekolah tempatnya saat ini adalah suatu keajaiban luar biasa bagi Aisyah. Bagaimana tidak? Ibunya hanya seorang buruh seterika, sementara ayahnya tidak tahu entah dimana. Menurut cerita ibunya, sang ayah dulu berangkat menjadi TKI ke Malaysia ketika Aisyah masih berusia 2 tahun. Satu tahun pertama masih terjalin komunikasi yang baik. Namun setelah itu hingga saat ini, tak pernah ada lagi berita. Ibu benar-benar kehilangan jejak, dan tidak tahu cara menemukan ayah.

Sholat duha telah usai. Siswa – siswa berhamburan keluar masjid menuju ke kelas masing-masing. Aisyah menghampiri Bu Hani yang berdiri di depan pintu masjid.

“Assalamualaikum, Bu Hani!” Aisyah menyapa sopan.

“ Walaikumussalam!” jawab Bu Hani Lembut.

“Mari duduk di situ, kita ngobrol sebentar ya, Aisyah,” lanjut Bu Hani sambil duduk di salah satu sudut teras masjid yang sudah sepi.

“ Baik, Bu,” Aisyah menjawab sambil mengikuti Bu Hani.

“Aisyah, Ibu perhatikan akhir-akhir ini ada yang berbeda denganmu. Ada apa, Nak?” tutur Bu Hani dengan suara khasnya yang selalu menentramkan.

Aisyah menunduk. Entah mengapa air matanya tiba-tiba mengalir deras. Tanpa suara tiba-tiba dia tampak sesenggukan. Aisyah memang sudah tidak kuat menahan beban yang dia rasakan. Tapi dia tidak tahu kepada siapa dan bagaimana memulai ceritanya. Tepukan lembut tangan Bu Hani di punggungnya, seolah memberi kekuatan bagi Aisyah. Dia menarik nafas dalam, sebelum akhirnya bisa mulai berbicara.

“Saya merasa sangat sedih, bingung, dan putus asa, Bu. Saya adalah satu-satunya harapan bagi Ibu saya. Dengan segala keterbatasannya, Ibu menyekolahkan Aisyah di sekolah ini, karena beliau selalu bermimpi suatu saat nanti Aisyah menjadi orang yang sukses yang bisa beliau banggakan. Hanya itu yang bisa membuat beliau bahagia.” Kalimat panjang itu berhasil diucapkan Aisyah dengan diiringi deraian air matanya.

“Alhamdulillah, itu bagus bukan? Aisyah harus bersyukur dan berterimakasih untuk itu semua. Lalu apa masalahnya, Nak?” sahut Bu Hani mencoba memahami Aisyah.

“Sekarang Aisyah sudah kelas enam. Aisyah sadar betul bahwa Aisyah bukan anak yang pandai. Tidak punya prestasi sama sekali. Sementara ibu, pasti ingin Aisyah bisa melanjutkan ke Sekolah yang terbaik. Aisyah sudah bisa membayangkan betapa kecewa dan sedihnya ketika nanti Aisyah tidak bisa diterima di sekolah terbaik itu, Bu. Aisyah tidak sanggup melihat ibu sedih karena itu. Betapa kecewanya beliau ketika satu-satunya harapan yang beliau punya gagal.” Aisyah semakin terisak tak terkendali.

Bu Hani terdiam sejenak membiarkan Aisyah, sebelum akhirnya dia meraih dan merangkul pundak Aisyah sambil tersenyum.

“Kau luar biasa, Nak. Ketahuilah, bagi ibumu, memilikimu adalah kebahagiaan terbesar yang beliau miliki, yang tak akan pernah terganti dengan kebahagiaan apapun,” kata Bu Hani.

Aisyah mendengarkan sambil menunduk. Dalam hati dia berbisik, Aku tahu dan itulah yang membuatku semakin takut mengecewakannya.

“Tetaplah menjadi anaknya yang soleha,” lanjut Bu Hani.

“Dan ingatlah,  ‘Do the best, Let Allah do the rest’. Tugas kita hanya berusaha sebaik mungkin. Untuk hasil, sepenuhnya kita serahkan kepada Allah, Dzat yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi kita.” Kalimat Bu Hani seperti mantera yang memberi kekuatan kepada Aisyah. Dia seolah tersentak dan bangun dari pingsannya.

“Astaghfirullah,” bisik Aisyah lirih.

Ya Allah, ampuni aku yang begitu jauh dari-Mu. Sampai aku menjadi orang putus asa yang lupa akan kemahaan-Mu, batin Aisyah dalam hati.

Aisyah menoleh menatap Bu Hani sambil tersenyum.

“Bu, terimakasih banyak untuk hari ini. Ibu benar-benar telah membantu saya,” ucap Aisyah dengan mata berbinar bahagia.

Bu Hani mengernyitkan keningnya, menunjukkan ekspresi tidak mengerti.

“Sekarang saya sudah tidak sedih lagi. Saya sudah tahu pasti apa yang harus saya lakukan untuk membahagiakan Ibu saya,” kata Aisyah berseri penuh semangat.

“Hmmm … Benarkah? Alhamdulillah kalau memang benar. Itu artinya Aisyah sudah siap masuk kelas dan belajar dengan semangat lagi,” kata Bu Hani sambil memberi isyarat kepada Aisyah untuk kembali ke kelas.

“Siap, Bu!” Aisyah berdiri sigap sambil tersenyum ceria, lalu sedikit membungkukkan tubuh sebagai bentuk penghormatan kepada Bu Hani sebelum akhirnya beranjak pergi. Sambil berjalan Aisyah terus tersenyum riang.

 Ibu, engkau selalu mengatakan bahwa tidak mengetahui takdir kita esok hari adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Sekarang aku sudah mengerti maksudmu, gumam Aisyah dalam hati.

Allah memberi harapan kepada kita untuk mengukir takdir yang kita inginkan. Doa, usaha, dan tawakal yang sebaik-baiknya akan menjadi kanvas, pena, dan tinta, yang menghasilkan takdir indah untuk kita, Aisyah terus bercakap dengan dirinya

Ibu, aku berjanji akan membuatmu bahagia, tentu saja dengan  doamu dan atas izin-Nya.

Kalimat terakhir Aisyah tepat selesai ketika dia sampai di depan kelas. Dia melangkah masuk kelas dengan pasti penuh percaya diri, siap menyambung mimpi.

Post A Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.